Thursday, June 7, 2012

when you give me permision to feel your love

"Hey, lihat ! Dia keren bangeeet," Dita berkata padaku sedikit berteriak. Kalau tidak begitu mungkin aku tak bisa mendengarnya. Disini sangat ramai. Ramai penonton - yang kebanyakan cewe - sedang berteriak teriak histeris melihat idolanya tampil. Radit - vokalis band X- yang cakepnya minta ampun. Salah satu yang histeris ya teman disebelahku ini - Dita. Ia tak hentinya nyerocos memuja idolanya. "Dia memang tak pernah kehilangan pesonanya ya? Udah cakep, tinggi, kulitnya bersih, rambutnya stylish, tatapan matanya juga paling bisa bikin cewek terpesona," dengan nada menggebu ia menyebutkan satu per satu alasannya mengagumi seorang radit. "Eh, eh, ada lagi, senyumnya itu loh, paling manis sedunia," tambahnya lagi. "Satu lagi !! suaranya merduuuuuuu banget. suara burung di sawah deket rumah kalah deh merdunya." Hmm, yayaya, 'aku tau itu semua Dit', jawabku dalam hati. Surely I know it ! Bahkan aku tau lebih dari itu.

Radit itu baik, aku pernah melihatnya di sebuah supermarket bersama ibunya, sedang sibuk membantu memilih ini itu untuk keperluan sehari-hari. Dia juga cowok yang penyayang. Hampir setiap hari aku melihatnya di gerbang sekolah Dimas - adiknya. Radit yang selalu mengantar dan menjemput adiknya itu. Kalau pagi, ia tak pernah menghilangkan senyumnya ketika harus melepas adiknya untuk bermain di sekolah. Kalau siangia juga selalu tersenyum menyambut kepulangan adiknya di gerbang sekolah yang sama dengan tadi pagi. Lagi, ia murah senyum, tidak sombong, peduli, dan -menurutku- romantis. Itu yang lebih membuatku tertarik - mungkin lebih bisa dibilang jatuh cinta - padanya. Tapi aku memilih untuk tenang, diam. Tidak seperti Dita atau cewek cewek lain. Padahal, aku tau, rasa kagumku pada Radit lebih dari mereka. Tapi yang aku sangat tau juga, Radit memiliki seorang pacar. Ini adalah salah satu alasanku untuk bersikap lebih tenang, seolah tak ada perasaan apapun untuknya.

"Ra !! Pulang yuk !! Udah kelar tuh performnya." Ajakan Dita menyadarkan lamunanku. "Hah?? Ayook," jawabku masih setengah linglung. Tak sadar 3 lagu selesai dibawakan Radit. Aku melihatnya turun dari panggung dengan senyum puas di wajahnya karena perform yang sukses malam ini. Senyumnya tampak jelas dari tempatku berdiri. Di barisan terdepan, mepet panggung, sedikit ke kiri, hanya beberapa meter dari tangga turun panggung. Aku juga melihat saat itu pacarnya - yang setia sejak tadi menunggui di belakang panggung - menjemputnya di dekat tangga. Senyumku yang mengembang tadi kini mengerut. Bibirku tiba-tiba tak bisa ditarik ke kanan dan ke kiri lagi, sangat sulit untuk tersenyum melihat pemandangan itu. Sebelum air mataku jatuh aku segera mengajak Dita melangkah pergi meninggalkan Radit dan pacarnya. Lagi pula malam sudah larut, ibuku pasti sudah menunggu kepulanganku dari tadi.
------ ****--------****------
Aku pulang sekolah sendiri hari ini. Dita tak bisa menemaniku seperti biasa karena harus mendapat pelajaran tambahan. Udara panas siang ini membawakau ke sebuah kafe, Ice cream disana sangat bisa membantuku mengurangi panasnya hari ini. Maka tak lama setelah keluar kelas aku sudah berada di kafe dekat pusat kota tak jauh dari bangunan sekolahku. Di kafe ini biasanya Radit dan teman-temannya berkumpul, tak jarang juga ia kesini bersama Karin - pacarnya. Tapi kurasa tidak untuk siang ini. Aku tak melihatnya di sudut manapun dari kafe ini. Mungkin memang hari ini aku harus sendiri, tidak bersama Dita, tidak juga dengan Radit.

Tak banyak yang bisa dilakukan di kafe ini. Hanya menikmati Ice Cream Moccachino kesukaanku sambil melamun, sesekali aku menuliskan yang ada di lamunanku dalam buku catatan kesayanganku ini. Yang kutulis, ya apa lagi selain tentang cowok bersuara merdu itu, Radit. Kebanyakan aku menulis tentang mimpi-mimpiku akan seorang Radit. Mimpi untuk menungguinya di belakang panggung. Mimpi untuk mendapat senyum manisnya setiap pagi. Mimpi untuk berada di kafe ini bersamanya, menikmati Ice cream mocca yang ku tai juga ia suka. Memang terlalu banyak mimpi dalam otak ini. Hari ini saja sudah beberapa kali aku membalikkan berlembar-lembar kertas catatnku, bahkan hampir pada lembar terakhirnya. Semua hanya berisi tulisan-tulisan - atau bisa disebut mimpi-mimpiku - tentang Radit. Namun yang menggelikan sekaligus menyedihkan adalah kenyataan bahwa objek dari tulisan ini sendiri tidak pernah membacanya, aku tau itu takkan terjadi. Aku pun menuliskan hal itu, bahkan di halaman pertamaku.

"Hey, nulis apa sih? Boleh ganggu?" Tiba-tiba seorang yang ku tau laki laki mengagetkanku dari belakang dengan suara lembutnya. Aku yakin ia mengucapkannya dengan tersenyum. Aku yakin pula bahwa pertanyaan itu tadi ditujukan padaku. Dan untuk ketiga kalinya aku yakin bahwa pemilik suara itu adalah Radit. Ya, Radit yang cakep itu. Sebelum terlalu lama terlihat bodoh dengan wajah - yang ku yakini - sedang bengong ini, segera saja aku menoleh unutk meyakinkan siapa yang ada disana. "Hah? Boleh kok, boleh banget," aku menjawabnya dengan sisa tampang bengong di wajahku, plus tampang kaget dan bingung. Karena sangat sulit dipercaya suara lembut itu akhirnya benar-benar menyapaku.

"Umm, you wrote this? Radit? Is it me?" Tanyanya ketika telah duduk disampingku sambil menunjuk pada kertas di depanku, ia melihat namanya tertulis disana. "Ya, itu kamu Dit, aku menulisnya untukmu, kamu tau? aku sangat mengagumimu," terlintas untuk mengeluarkan kata-kata itu dari bibirku. Tapi tentu aku tidak melakukannya, aku tak mungkin sejujur itu pada kesempatan pertamaku untuk berbicara padanya ini. Lagi pula, bisa GR dia nanti kalau tau ada yang mengaguminya sampai menuliskan nama "Radit" pada setiap lembar buku catatannya. Lebih baik diam saja, pikirku. "emh, bukan kok!" Aku menjawabnya sambil nyengir gugup dan cepat-cepat menutup buku catatan ini. Aku tau sekali, Radit menyadari bahwa wanita di sampingnya ini sedang salah tingkah. Namun semoga ia tak mendengar detak jantungku.

"Sendirian?" tanyaku mengalihkan perhatian. "Iya, kamu juga?" dan setelah jawaban itu terlontar, percakapan pun dimulai. 20 menit kemudian kami pun sudah mulai akrab dengan berbagai basa-basi. Mulai dari sekolah, keluarga, bahkan dengan cepat dia menyadari bahwa aku sangat menyukai eskrim, dan moccachino. Namun basa-basi ini tiba-tiba serasa dihentikan oleh satu pertanyaan darinya. "Do you love me, ra?" Rasanya seperti dejavu. Dengan satu pertanyaan, dengan suara lembut, disertai sebuah senyuman khas dari bibirnya, ia kembali mengagetkanku. Basa-basi tadi serasa sebuah hipnotis, dan baru saja aku dibangunkannya. "Hah?" Dia tau maksudku, aku ingin dia mengulangi pertanyaannya lagi. "Do-you-love-me?" Kali ini ia mengucapkannya dengan lebih pelan dan dengan suara yang lebih lembut. Namun yang tak ku sangka ia melakukan itu sambil menatap lekat mataku. Aku balas menatap matanya, dengan wajah yang entah seperti apa, mungkin sedang terlihat aneh, bibir mlongo atau mungkin lebih bodoh dari itu, aku tak dapat merasakannya dengan pasti. Yang kurasakan dengan sangat pasti, saat ini sedang tumbuh taman bunga yang sangat indah dalam hatiku. Semua bunganya bermekaran, tak ada satupun yang masih kuncup. Kebahagianku sempurna sekali. "I do," jawabku tegas, tak terdengar terburu-buru atau gugup, karena aku memang sudah lama berlatih untuk mengucapkan kata itu.

Namun setelahh kata tersebut berhasil terucap, aku hany bisa menunduk, diam, tak ada keberanian unutk menatap matanya lagi. Pasti setelah ini ia akan menertawakanku, ilfil padaku, ata mungkin kemungkinan terburuknya ia akan membenciku. Menganggapku tak tau diri. Air mataku hampir jatuh saat ini. Namun hampir, keberanianku pun sudah tak ada untuk menjatuhkan ar mata ini. "I'm sorry," yang ku dengar Radit mengucapkan kalimat barusan dengan sebuah nada penyesalan. Di saat bersamaan, aku merasakan ada sentuhan halus di pundakku. Radit memelukku, mungkin sedang berusaha menenangkan wanita tak tau diri ini.

Aku masih saja diam, menunggu apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Kini aku sedang bersandar di pundaknya, tangannya pun masih di pundakku. Aku sangat bisa mencium bau parfumnya dengan posisi seperti ini. Kalau bisa aku menghentikan waktu, akan ku hentikan sekarang juga mauku.  Aku masih ingin menikmati kehangatan ini. Sangat ingin. "I love you too," ia melanjutkan kalimatnya, tapi kali ini tak terdengar sebuah nada penyesalan lagi. Terdengar seperti Radit baru saja mengeluarkan batu besar yang mengganjal dalam dirinya selama bertahun-tahun, yang sangat mengganggunya. Ia mengucapkannya dengan ringan, yakin, dibarengi sebuah senyuman manis itu lagi. Aku sangat terkejut, tapi masih tak bisa melakukan apapun, aku masih diam. "Maaf, kalau saja tak ada Karin, mungkin aku sudah menjadi teman setiamu menikmati Ice Cream ini. Tapi kalau kamu mau percaya, aku sudah mengagumimu sejak lama, persis di tempat ini akku pernah melihatmu. Kalau kamu masih inget, kamu tersenyum padaku waktu itu, senyum terindah yang pernah kulihat. Aku selalu mengingatya." Tak terasa pipiku basah. "But don't worry, I still loving you, and your smile," ia tesenyum. Radit sempat mengusap air mataku sebelum meninggalakanku di kafe ini untuk menikmati Ice Cream ini sendiri lagi. "Stop crying my Rara, I don't wanna miss your smile." Kalimat terakhirnya itu dibarengi dengan sebuah kecupan di keningku, kemudian ia melangkah pergi.

Aku masih tetap saja diam pada tempatku. Menikmati setiap kata yang ia ucapkan. Mengikuti setiap alur yang entah sudah ia rencanakan sebelumnya atau aru saja terlintas di pikirannya ketika melihat seorang gadis duduk sendiri di sudut kafe. Aku menatapnya yang sudah beberapa langkah dari Ice Cream ini dan aku. Dalam air mata ini aku tersenyum. Masih pada tempat yang sama, aku terdiam. Mencoba kembali mengingat apa saja yang telah Radit lakukan sampai membuatku bisu seperti ini. Entah benar atau tidak yang tadi ia ucapkan, aku tak peduli. Tak peduli ia telah membohongiku atau tidak. Tak peduli dia telah mempermainkanku atau tidak. Tak peduli pula ia sungguh-sungguh mengatakan semuanya tadi atau hanya sekedar sedang menghibur wanita yang sangat mengaguminya ini. Karena, sudah cukup lama aku menunggu kalimat tersebut diucapkan olehnya, untukku. Ya, sejak pertemuan hari itu. Sejak ia melihat senyumanku itu, di tempat ini. Jelas, aku masih sangat mengingatnya. "13 Mei 2011, pertemuan pertamaku dengan seorang Radit dan Ice Cream Mocca, @Full Of Love cafe." Aku menuliskannya di buku catatanku.

Dan saat ini pun, aku mau menuliskan kebahagianku. Sebuah kesempatan terindah unutk bisa merasakan cintanya. Meski hanya 30 menit. "8 Juni 2012, thanks for today, you give your time for me, to feel your love eor 30 minutes." Aku pulang meninggalkan mangkuk eskrim ini sendiri. Air mataku sudah terhapus tanpa bekas. Senyumku, menemani setiap langkah yang mengantarku pulang. Dan, siang ini berakhir dengan sebuah senyuman di wajahku.

*this is for my beloved friend, Clara Intan*

No comments:

Post a Comment

Transparent Yellow Star