Saturday, May 12, 2012

Falling In Love In A Coffee Shop

Pelayan baru saja mengantarkan pesananku. Hanya secangkir kopi hitam seperti biasa. Aku memandangi asap yang mengepul tak hentinya dari cangkirku, tanda masih sangat panas. Aku pun enggan menyentuhnya. Ku lanjutkan lagi membaca serial komik detektif Conan yang saat ini sudah sampai kubaca pada halaman 36.

Sesekali aku memandangi orang-orang yang datang ke Coffee Shop ini, kebanyakan bergerombol. Tempat ini memang sangat cocok untuk menghabiskan waktu luang bersama pacar, teman bahkan keluarga. Tempat duduknya tertapa rapi mengelompok, bisa berdua, berempat atu berenam. Pas sekali untuk siapa saja yang datang kesini bersama orang terdekatnya. Tapi aku tidak melakukan itu. Aku datang kesini sendiri. Selalu begini setiap hari. Sampai sampai pelayannya hafal padaku.

Bebarapa menit menunggu sepertinya kopiku sudah siapa untuk kunikmati. Seteguk, lalu ku letakkan lagi cangkir mungil warna krem itu. Sesaat kemudian aku sudah kembali tenggelam dalam keseruan penyelesaian kasus dalam komik di tanganku ini.

Raut mukaku selalu terlihat serius saat membaca. Pantas saja, yang ku baca adalah komik detektif yang selalu menemukan berbagai kasus yang kebanyakan pembunuhan. Meski begitu, sesekali aku juga tertawa kecil karena ulah Mouri, ayah Ran yang mengaku detektif itu. Padahal Conan yang ada dibalik setiap penyelesaian kasusnya.

Perhatianku tiba-tiba teralihkan ketika seorang laki-laki datang, juga sendiri, sama sepertiku. Langsung saja ia menghampiri pelayan, tampak memesan sesuatu sebelum akhirnya duduk di sofa tak jaur dariku. Tak menghabiskan banyak waktu, ia lalu mengeluarkan laptop dari tasnya dan segera membukanya. Entah apa yang ia kerjakan, tapi ia tampak antusias memandangi layar di depannya.

Aku tahu betul siapa laki-laki itu. Aku sering melihatnya di berbagai event. Tapi aku sama sekali tak mengenalnya. Kalua tak salah ia punya nama yang sama denganku. Bila pada pertemuan sebelumnya ia tampak biasa saja, tapi kali ini ia sedikit menarik perhatianku.

Entah kenapa, aku memperhatikannya sejak tadi. Sedikit mencuri-curi kesempatan di sela membaca komikku. Ia terlihat segar, kalau boleh ku tebak pasti baru mandi. Rambutnya juga masih sedikit basah. Dia tampak "cool" hanya dengan kaos oblong warna hitam, celana pendek dan sepatu hitamnya. Aku merasa ada yang menarik darinya, entah apa. Yang pasti aku masih saja memperhatikannya, sampai akhirnya aku menyadari bahwa dia juga sesekali memperhatikanku.

Bebarapa kali aku sempat ketahuan sedang memperhatikan wajah "sok" seriusnya yang sedang menatap layar laptop itu. Dan beberap kali pula aku memergokinya sedang memperhatikan aku dan komikku. Jika itu terjadi, maka aku segera mengalihkan pandanganku dan menjadikan komik di depanku ini sebagai kambing hitam. Seolah tak melakukan apa-apa. Kelihatannya dia juga melakukan itu. Secepatnya setelah ia menyadari aku menangkap matanya yang sedang memperhatikanku ia menatap kembali layar laptopnya, tentunya tetap dengan wajah "sok" seriusnya itu. Begitu sampai beberapa waktu.

Satu jam, dua jam berlalu. Aku mulai terbiasa dengan keadaan ini. Sambil terus berkonsentrasi pada Conanku dan secangkir kopi yang sudah hampir terlihat ampasnya ini, aku masih saja mencuri pandang padanya. Hingga tak sadar bahwa langit yang tadinya cerah sekarang sudah berwarnya merah, menandakan malam akan segera datang dan aku harus segera pulang.

Sambil merapikan komikku, aku sedikit bersenandung, lagu dari Evo yang berjudul Dia Dan Aku. Ketika aku membalikkan badan dan melihat pada bangku tempat laki laki tadi duduk, ternyata ia juga sedang merapikan laptopnya. Tampak bergegas untuk pulang. Selesai merapikan resleting tasnya ia pun membalikkan badan, menengok ke arahku. dan segera menemukanku yang sedang memperhatikannya. Aku tau, ia mulai menyadari pipiku memerah saat itu. Segera saja aku berdiri, berjalan ke tempat parkir dengan wajah tertunduk.

Tiba tiba aku menyadari bahwa ada seseorang yang berdiri di samping tempatku memarkirkan si Bima - motorku. Laki-laki tadi ternyata memarkirkan motornya tepat di samping motorku. Ini terasa seperti takdir. Sambil menyalakan Bima, aku menyempatkan untuk melihat ke arahnya, setidaknya untuk yang terakhir kali pikirku. Namun sangat mengejutkan bahwa ternyata ia juga melakukan hal yang sama. Mataku pun bertemu dengan matanya. Tapi kurasa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menghindar lagi dan melewatkan tatapan sehangat itu. Dan lagi, ia melontarkan sebuah senyum yang ku tau dengan pasti bahwa senyum itu tertuju padaku.

Aku baru sadar, bahwa senyumnya sangat manis. Perpaduan antara tatapan mata yang tajam namun hangat, senyum simpul yang indah dan wajah yang sederhana itu membuatku terpaku beberapa saat. Yang bisa kulakukan saat itu hanyalah membalas senyumnya dengan tersenyum setulus mungkin. Dengan sebuah anggukan pelan tanda pamit, aku pun memutar gas dan segera melaju kencang bersama Bima yang kurasa saat itu sangat memahamiku yang segera ingin pergi dari tempat parkir itu. Tak lama kemudian, aku tau bahwa ia pun melakukan hal yang sama. Saat itulah aku menyadari dengan sangat, bahwa aku telah jatuh cinta. Cinta yang bisu, tanpa kata, namun bukan tanpa makna.

*terinspirasi dari lagu "falling in live in a coffee shop" dari clara intan*

No comments:

Post a Comment

Transparent Yellow Star